Induk Burung Ini Rela Terbakar Demi Menyelamatkan Telur-telurnya
pada tanggal
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
Rebalas Pedia - Di tengah puing dan abu, seekor burung mungil tetap bertengger pada tempatnya—diam, tak terbang, tak melarikan diri. Ia memiliki sayap. Ia memiliki naluri untuk bertahan hidup. Namun ia memilih untuk tetap tinggal.
Mengapa?
Di dalam sarangnya tersimpan makna terdalam dari keberadaannya: telur-telur yang belum menetas, anak-anak yang tak berdaya, dan masa depan yang belum sempat hidup. Dalam bahasa manusia, kita menyebutnya “cinta”.
Namun dalam dunia burung, ini adalah manifestasi dari dorongan biologis yang kuat—hormon prolaktin—yang meningkat drastis selama musim berkembang biak.
Hormon ini tidak hanya memicu naluri keibuan, tetapi juga menjadi panggilan genetik yang mengarahkan pada satu keputusan luar biasa: bertahan demi mereka yang lebih kecil, lebih lemah, dan belum memiliki suara.
Burung tidak meneteskan air mata. Mereka tidak menulis puisi, tidak menyampaikan pesan lewat kata. Tetapi melalui diam yang penuh keberanian, mereka memperlihatkan esensi dari pengorbanan yang sejati.
Burung ini bukan sekadar satwa kecil yang tertinggal di antara reruntuhan. Ia merupakan simbol dari jutaan “ibu” di alam—yang memilih bertahan saat yang lain memilih terbang.
Ia mewakili kekuatan sunyi yang tersembunyi di dunia makhluk hidup: naluri, rasa tanggung jawab, dan keberanian tanpa pamrih yang tak tercatat dalam buku sejarah.
Dan saat kita menatapnya, sosok itu tak lagi hanya seekor burung. Ia adalah representasi dari semua makhluk yang pernah menempatkan keselamatan yang dicintainya di atas keselamatannya sendiri.
Sebab pahlawan sejati tidak selalu datang membawa pedang—kadang, ia hadir dengan paruh dan bulu yang terbakar.
Sumber:
Cornell Lab of Ornithology – Hormonal Basis of Parental Behavior in Birds
Komentar
Posting Komentar