Lawar Plek: Hidangan Khas Bali Terbuat dari Sayuran dan Campuran Darah Mentah

foto: detikfood

Rebalas Pedia - Pelestarian tradisi oleh masyarakat Hindu di Bali tidak hanya tercermin dalam upacara keagamaan, tetapi juga dalam praktik kuliner yang masih dijaga hingga kini. Salah satu contohnya adalah lawar, hidangan khas Bali yang telah dikenal sejak masa Hindu-Buddha di Nusantara.

Sebelum masuknya agama-agama lain ke wilayah Indonesia, ajaran Hindu-Buddha merupakan yang pertama menyebar dan mengakar kuat di tanah air, saat negara Indonesia masih berbentuk kerajaan-kerajaan yang tergabung dalam wilayah Nusantara.

Pulau Bali, atau yang dikenal sebagai Tanah Dewata, menjadi salah satu bukti nyata keberlangsungan warisan Hindu-Buddha yang masih dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat setempat. Salah satu wujud pelestarian tersebut tercermin dalam tradisi penyajian lawar, yang hingga kini tetap menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Bali.

Lawar tidak hanya dikenal sebagai hidangan pelengkap dalam menu makanan, tetapi juga memiliki nilai historis dan spiritual yang mendalam. Konon, hidangan ini telah ada sejak masa pra-Hindu, sebagai bagian dari praktik sekte Bhairawa. Berikut empat fakta penting mengenai lawar plek, kuliner khas Bali, yang dirangkum dari berbagai sumber:

1. Asal Usul Lawar

Kadek Edi Palguna, dosen Ilmu Budaya di STAHN Mpu Kuturan Singaraja, menjelaskan bahwa lawar memiliki keterkaitan erat dengan penyebaran ajaran spiritual di Bali.Sekte Bhairawa pada masa pra-Hindu diyakini menggunakan lawar sebagai simbol keagamaan serta persembahan dalam upacara yadnya (ritual persembahyangan).

Seiring masuknya ajaran Siwa Siddhanta, tradisi penyajian lawar semakin berkembang dan menjadi bagian penting dalam berbagai upacara keagamaan umat Hindu di Bali, termasuk pada Hari Raya Galungan, sebagai simbol kemenangan atas Adharma (keburukan).

2. Komposisi Daging dan Darah Mentah

Lawar dibuat dari tiga komponen utama, yakni campuran aneka sayuran, bumbu khas Bali yang disebut base genep, serta daging cincang yang ditambah dengan darah mentah.

Umumnya, digunakan daging dan darah dari babi, ayam, atau penyu, sesuai tradisi dan simbolisasi arah mata angin dalam kosmologi Hindu Bali. Selain sebagai unsur kuliner, penggunaan darah juga berfungsi sebagai pewarna alami dan elemen spiritual dalam penyajian lawar.

Menurut Politeknik Internasional Bali, lawar telah diakui sebagai bagian dari Warisan Budaya Tak Benda Dunia (Intangible Cultural Heritage) oleh UNESCO. Hal ini menegaskan peran lawar bukan hanya sebagai makanan, tetapi juga sebagai simbol pelestarian budaya turun-temurun.

3. Proses Pengolahan Tradisional

Proses pembuatan lawar masih dilakukan secara tradisional tanpa bantuan alat modern. Pengolahan hanya membutuhkan pisau dan tangan manusia sebagai alat utama. Sayuran dicampur dengan parutan kelapa, bumbu base genep, dan daging cincang dalam satu wadah.

Selanjutnya, darah segar atau setengah matang ditambahkan sesuai preferensi. Proses pencampuran dilakukan dengan meremas seluruh bahan menggunakan tangan yang bersih, guna memastikan darah tercampur merata dan tidak menggumpal. Teknik ini merupakan bagian dari kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun.

4. Risiko Konsumsi Lawar Mentah

Ni Putu Agustini, akademisi dari Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Denpasar, melalui laman Nusa Bali, mengingatkan adanya risiko kesehatan dalam mengonsumsi daging dan darah mentah.

Kontaminasi mikroorganisme seperti Salmonella dan Streptococcus dapat terjadi, sehingga berisiko bagi kesehatan. Namun, risiko tersebut dapat diminimalkan dengan cara pengolahan yang tepat. Agustini merekomendasikan agar daging dan darah dimasak terlebih dahulu hingga setengah matang.

Suhu pemanasan minimal 70 derajat Celsius diperlukan untuk membunuh sebagian besar bakteri patogen yang berbahaya. Kesimpulan Lawar bukan sekadar kuliner khas Bali, melainkan bagian dari warisan budaya dan spiritual yang kaya akan nilai sejarah dan tradisi.

Proses pembuatannya yang masih tradisional serta kaitannya dengan upacara keagamaan menjadikan lawar simbol penting dalam identitas budaya masyarakat Hindu di Bali. Meski demikian, aspek keamanan pangan tetap perlu diperhatikan agar pelestarian budaya dapat berjalan seiring dengan perlindungan kesehatan masyarakat.

Komentar