Rebalas Pedia - Fenomena yang dikenal sebagai “kebun binatang manusia” mulai muncul secara signifikan pada abad ke-19 dan 20. Namun, akar dari praktik ini dapat ditelusuri lebih jauh ke masa lampau, melalui berbagai bentuk pameran artistik terhadap individu-individu dari wilayah asing atau eksotis yang berasal dari kerajaan lain.
Salah satu contoh awal terdapat pada makam Firaun Seti I dari Dinasti Kesembilan Belas di Mesir. Di sana, ditemukan mural yang menggambarkan empat kelompok etnis utama pada masa itu: Mesir, Libya, Asia, dan Nubia.
Representasi serupa juga ditemukan dalam seni Kekaisaran Achaemenid, di mana relief di Persepolis—khususnya pada Tangga Utara dan Timur Apadana—menggambarkan berbagai bangsa yang berada di bawah kekuasaan kekaisaran, membawa upeti kepada raja Achaemenid.
Pameran Tawanan Asing dalam Sejarah Awal Tradisi pameran artistik kemudian berkembang menjadi pameran nyata, di mana tawanan asing dipertontonkan secara publik oleh para jenderal Romawi setelah kemenangan militer.
Arak-arakan kemenangan ini tidak hanya berfungsi sebagai simbol dominasi militer, tetapi juga sebagai hiburan bagi masyarakat, yang tertarik melihat "orang-orang asing" dari wilayah yang jauh.
Beberapa tokoh terkenal yang pernah dipertontonkan dalam tradisi ini termasuk anak-anak Mark Antony dan Cleopatra—yakni Cleopatra Selene II, Alexander Helios, dan Ptolemy Philadelphus—serta tokoh-tokoh seperti Caractacus, kepala suku Inggris yang melawan Romawi, dan Vercingetorix, pemimpin Galia yang ditaklukkan oleh Julius Caesar.
Perkembangan Konsep “Kebun Binatang Manusia” Pada masa Zaman Penjelajahan, para penjelajah Spanyol dan Portugis kerap membawa pulang tanaman, hewan, dan bahkan manusia dari wilayah yang mereka kunjungi, sebagai bukti keberhasilan ekspedisi mereka.
Namun, objek-objek ini umumnya hanya dapat diakses oleh kalangan elit, karena hanya dipamerkan di lingkungan istana kerajaan.
Pada abad ke-17 dan 18, keberadaan pelayan non-Eropa menjadi simbol status sosial bagi kalangan bangsawan Eropa. Sekali lagi, interaksi dengan orang-orang asing ini terbatas pada lingkungan elite dan tidak menyentuh masyarakat umum. Situasi berubah pada awal abad ke-19.
Antara tahun 1810 hingga 1815, seorang perempuan asal Afrika Selatan bernama Saartjie Baartman—dikenal sebagai “Venus Hottentot”—dipertontonkan di London dan Paris sebagai bagian dari “pertunjukan aneh”.
Pameran ini merupakan salah satu contoh awal dari praktik etnologis modern yang kemudian berkembang menjadi apa yang dikenal sebagai kebun binatang manusia.
Selama paruh pertama abad ke-19, individu-individu dari berbagai belahan dunia dipamerkan dalam pameran umum dan karnaval, yang kerap kali menampilkan pertunjukan-pertunjukan eksotis.
Pada periode ini, fokus beralih dari dikotomi “normal” dan “abnormal” menjadi dikotomi “beradab” dan “biadab”, sejalan dengan berkembangnya ideologi imperialisme baru (neo-imperialisme) di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Kebun Binatang Manusia dalam Konteks Imperialisme Dengan berkembangnya kolonialisme Eropa, terutama di Afrika, muncul keinginan untuk menampilkan individu dari koloni sebagai representasi dari bangsa yang dianggap inferior secara budaya.
Pemerintah kolonial Eropa pun turut memfasilitasi pameran ini. Di berbagai pameran internasional, bahkan dibangun desa-desa asli yang merekonstruksi kehidupan masyarakat koloni untuk disaksikan publik. Fenomena ini tidak terbatas di Eropa.
Di Amerika Serikat, Pameran Dunia St. Louis tahun 1904 menampilkan lebih dari 1.000 orang Filipina dari berbagai suku yang ditempatkan di desa-desa buatan. Sementara di Jepang, pada tahun 1903, diselenggarakan pameran yang menampilkan orang Korea, yang secara provokatif digambarkan sebagai kanibal—tujuh tahun sebelum dimulainya penjajahan Jepang atas Korea.
Akhir dari Fenomena “Kebun Binatang Manusia” Popularitas kebun binatang manusia mulai menurun seiring dengan berjalannya abad ke-20. Salah satu contoh terakhir terjadi pada tahun 1958, dalam Pameran Dunia di Brussels, ketika sebuah “Desa Kongo” dipamerkan kepada publik.
Menjelang akhir keberadaannya, kebun binatang manusia semakin dikritik karena sifatnya yang merendahkan martabat manusia, rasis, dan tidak etis.
Meski demikian, ketertarikan masyarakat terhadap pertunjukan ini tidak langsung sirna, melainkan beralih ke media hiburan lain seperti film dan bioskop, yang kemudian menggantikan fungsi pertunjukan eksotis tersebut dalam budaya populer.
Komentar
Posting Komentar