Rebalas Pedia - Bagi mereka yang gemar bepergian menggunakan bus malam, ada baiknya meningkatkan kewaspadaan. Selain rawan kecelakaan, perjalanan malam juga menyimpan potensi pengalaman yang jauh lebih mengerikan—seperti yang dialami oleh seorang gadis muda dalam kisah nyata yang menyeramkan ini.
Gadis itu, Rini, bekerja di sebuah pabrik tekstil di Surabaya. Jauh dari kampung halamannya di Banyuwangi—sebuah kota yang terletak di ujung timur Pulau Jawa—ia terbiasa pulang sebulan sekali untuk menjenguk keluarganya.
Karena tidak menyukai hiruk-pikuk dan kepadatan penumpang pada siang hari, ia selalu memilih untuk bepergian menggunakan bus malam. Malam itu, seperti biasa, ia menunggu di halte dekat kosnya. Waktu terus bergulir.
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, dan jalanan mulai lengang. Satu per satu kendaraan melintas, namun bus yang ditunggunya tak kunjung datang. Hingga akhirnya, sebuah bus jurusan Banyuwangi melaju pelan dari kejauhan.
Bus itu tampak familiar. Tanpa berpikir panjang, Rini segera menghentikannya dan naik. Ia duduk di bangku kedua, di samping seorang pria paruh baya. Saat itu, hawa dingin yang tak biasa menyapu tubuhnya, membuat bulu kuduk berdiri. Anehnya, semua jendela tertutup rapat.
Ia mulai merasa tidak nyaman. Bus itu begitu sunyi, tidak terdengar percakapan dari satu penumpang pun. Bahkan sopir dan kondekturnya hanya menatap kosong ke depan. Wajah mereka tampak pucat—hampir tanpa darah—dan semua penumpang mengenakan pakaian serba putih.
Dengan perasaan gelisah, Rini memberanikan diri bertanya kepada pria di sebelahnya, “Pak, dari mana? Ini bus haji ya? Kok semua pakai baju putih?” Namun si bapak hanya tersenyum samar, tanpa menjawab.
Tak lama, kondektur menghampiri untuk meminta ongkos. Tanpa sepatah kata pun, ia hanya menyodorkan tangan. Rini menyerahkan uang lima puluh ribu rupiah. Kondektur itu menerima dan mengembalikannya tanpa sepatah kata, hanya menatap dan tersenyum dingin.
“Terima kasih…” ucap Rini, namun senyuman kondektur itu malah membuatnya semakin tidak tenang. Perjalanan terasa begitu panjang dan sunyi. Hingga akhirnya, bus tiba di Terminal Banyuwangi. Rini turun dan duduk di bangku tunggu terminal, masih mencoba mencerna apa yang baru saja ia alami.
Beberapa saat kemudian, seorang petugas terminal menghampirinya. “Permisi, Mbak. Mau ke mana? Tadi naik bus apa?” “Saya dari Surabaya,” jawab Rini singkat. “Naik bus apa, ya?” tanya petugas lagi, dengan nada heran. “Kramatjati,” jawab Rini.
Mendengar nama itu, petugas tersebut terkejut bukan main. Wajahnya berubah serius. Ia lalu mengisahkan sesuatu yang membuat darah Rini nyaris berhenti mengalir. “Bus Kramatjati…? Tidak mungkin. Bus itu mengalami kecelakaan parah di Jurang Tangis sekitar jam tujuh malam tadi. Masuk jurang. Semua penumpangnya, termasuk sopir dan kondektur, meninggal di tempat.”
Rini membeku. Napasnya tercekat. Pikirannya kacau. Dengan tangan gemetar, ia mengambil uang kembalian dari saku celananya. Tapi apa yang ia temukan membuat jantungnya nyaris berhenti berdetak—bukan uang, melainkan kapas berlumur darah.
Jeritan tertahan pecah di tenggorokannya sebelum kesadarannya lenyap. Rini pingsan seketika. Menjelang subuh, ia tiba di rumah dalam keadaan lemas. Kepada keluarganya, ia menceritakan pengalaman mengerikan itu. Sejak malam kelam tersebut, Rini bersumpah, tidak akan penah lagi naik bus malam.
Komentar
Posting Komentar